Selesai Dengan Diri Sendiri vs Bertumbuh Dengan Diri Sendiri
Dari banyak topik pembicaraan yang terjadi antara saya dan para peserta pelatihan, satu hal yang saya dapati kerap kali menjadikan banyak pembelajar di bidang terapi, konseling dan/atau coaching tidak kunjung memulai praktiknya adalah adanya anggapan bahwa mereka haruslah “selesai dulu dengan dirinya sendiri” sebelum mulai menjalankan praktiknya.
Lain ceritanya jika mereka yang tidak berpraktik ini memang tidak berencana untuk berpraktik. Artinya, sejak awal mereka belajar mereka memang murni belajar karena suka, atau sebatas karena ingin mengembangkan diri. Yang jadi polemik adalah ketika mereka yang tidak berpraktik ini sebenarnya ingin berpraktik, namun “terganjal” oleh pemikiran yang menghambat tadi.
Diri sendiri saja masih banyak masalah, masa iya kemudian membereskan masalah orang lain,” menjadi pemikiran yang kerap muncul dalam topik pembicaraan ini.
Di satu sisi, hal ini ada benarnya, namun di sisi lain ada beberapa potensi permasalahan tersendiri yang bisa muncul dari pemikiran ini, yaitu tidak akan pernah dimulainya praktik yang mereka fasilitasi.
Kenapa demikian? Karena “selesai dengan diri sendiri” adalah satu hal yang ambigu.
Mari kita sedikit mencermati fenomena ini lebih jauh.
Hal pertama dan paling mendasar, apa definisi “selesai dengan diri sendiri” ini? Meski terdengar bijak, kalimat ini tidak memberikan tolak ukur yang jelas.
Jika “selesai dengan diri sendiri” ini diartikan “sudah selesai dengan semua permasalahan hidup”, agaknya ini menjadi sesuatu yang akan sulit sekali untuk dicapai.
Selama manusia masih hidup, yang namanya masalah pasti akan selalu ada. Maka itu jika tolak ukur “selesai dengan diri sendiri” adalah ketika tidak ada lagi masalah apa pun dalam hidup, maka bisa jadi hal ini baru tercapai ketika kita sudah “tidak lagi hidup”.
Jika definisi “selesai dengan diri sendiri” ini adalah ketika perilaku seseorang dikatakan sudah “bijak” atau “sempurna”, lagi-lagi hal ini menjadi sesuatu yang sulit untuk didefinisikan. Sebijak atau sesempurna apa pun kita merasa diri kita bersikap, akan ada saja yang tidak setuju dan akan mengatakan bahwa itu bukanlah tindakan yang bijak atau sempurna di mata mereka. Kita tidak bisa menyenangkan setiap orang, sebaik apa pun keputusan yang kita rasa kita buat, pasti akan ada saja yang tidak setuju karena perbedaan cara pandang.
Bagi saya, frasa “selesai dengan diri sendiri” adalah frasa yang menjebak dan malah menjadikan mereka yang ingin memulai praktik tidak kunjung memulai praktiknya. Maka itulah saya lebih suka menggunakan pemikiran “bertumbuh dengan diri sendiri”.
Meski hanya berbeda di pemilihan kata, hal ini akan memunculkan konotasi yang berbeda.
Ketika kita memutuskan “bertumbuh dengan diri sendiri”, kita tahu bahwa kita tidak harus “selesai dengan diri sendiri” atau tampil “sempurna”, karena itu adalah hal yang mustahil untuk diwujudkan.
“Bertumbuh dengan diri sendiri” mengajak kita untuk menjadi pribadi yang “berbenah” dari waktu ke waktu. Berbagai permasalahan yang ada dalam diri kita memang belum sepenuhnya terselesaikan ketika kita memulai, namun kita berproses membenahi itu dari waktu ke waktu. Artinya, dari waktu ke waktu diri kita terus bertumbuh menjadi versi diri yang lebih baik, mulai dari pemikiran, perilaku dan kedewasaan dalam menyikapi persoalan.
Setidaknya ada lima kategori “bertumbuh dengan diri sendiri” yang saya kerap kali bagikan pada para peserta pelatihan saya, dimana selama seorang praktisi memenuhi kelima kategori ini maka ia bisa dan berhak memulai praktiknya.
Kategori pertama, bertumbuh dari segi niat dan tujuan. Di kategori pertama ini seorang praktisi berpraktik dengan niat dan tujuan untuk turut berkontribusi membantu sesama. Fokus utama praktiknya adalah membantu sesama, bukan memenuhi ego dirinya sendiri untuk nampak hebat atau mencari popularitas semu.
Kategori kedua, bertumbuh dari segi kesadaran. Di kategori kedua ini seorang praktisi menyadari bahwa dirinya bukanlah sosok sempurna yang bebas masalah, yang lebih baik dari orang lain, sampai-sampai menjadi tinggi hati dan menghakimi sesama. Di kategori ini seorang praktisi menyadari bahwa dirinya pun masihlah manusia biasa yang tidak lepas dari masalah dan ia tidak boleh menghakimi sesama hanya karena orang lain dianggap “bermasalah”.
Kategori ketiga, bertumbuh dari segi kepekaan. Kategori ini berhubungan langsung dengan kategori kedua. Karena seorang praktisi menyadari dirinya tidak lepas dari masalah ia perlu peka pada kondisi dirinya sendiri.
Sehubungan dengan kategori ketiga ini, seorang praktisi setidaknya perlu peka pada dua hal:
Hal pertama, apakah kondisi mentalnya sendiri mumpuni untuk membersamai perubahan klien. Artinya, kalau pun ia memang masih memiliki permasalahan pribadi tertentu, ia perlu memastikan permasalahan pribadinya tidak “mengkontaminasi” jalannya penanganan klien. Jika ternyata secara mental-emosional permasalahan pribadinya akan merintangi kapasitasnya dalam membersamai klien maka ia harus siap bertumbuh membenahi persoalan dirinya sendiri terlebih dahulu, atau ia perlu mencari pertolongan untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Ini yang kita ilustrasikan “Jangan menyapu ruangan dengan sapu yang kotor”.
Hal kedua, apakah keahliannya mumpuni untuk membersamai perubahan klien. Berhubungan dengan tanggung jawab moral, seorang praktisi perlu menakar kemampuan dirinya sendiri. Apakah level pengetahuan dan keahliannya memadai untuk membersamai perubahan klien yang dibantunya. Jika hal ini dirasa belum optimal maka sudah menjadi tanggung jawab moral bagi seorang praktisi untuk kembali belajar, memastikan pengetahuan dan keahliannya memadai untuk membersamai perubahan klien yang dibantunya.
Kategori keempat, bertumbuh dari segi kesungguhan. Kategori ini melanjutkan kategori ketiga. Artinya, ketika seorang praktisi peka bahwa ia belum mumpuni secara kondisi mental atau pun pengetahuan dan keahlian, maka ia perlu bersungguh-sungguh membenahi dirinya sesuai dengan kondisi yang perlu dibenahinya. Jika ia memerlukan pembenahan mental maka ia sungguh-sungguh melakukannya, baik itu melalui upaya pribadi atau melalui bantuan praktisi lain. Jika ia memerlukan peningkatan pengetahuan dan keahlian maka ia sungguh-sungguh belajar dan meningkatkan kapasitas dirinya.
Kelima, bertumbuh dari segi bukti. Kategori yang paling penting, yaitu memastikan bahwa semua yang dilakukan sebagai pembenahan terbukti secara nyata dalam bentuk kualitas hidup yang membaik. Bisa saja seorang praktisi mengklaim bahwa ia sudah memenuhi semua kategori pertama sampai keempat di atas tadi. Jika demikian maka hendaknya semua yang ia lakukan terbukti secara nyata membawanya ke titik yang lebih baik dari waktu ke waktu.
“Bertumbuh dengan diri sendiri” tidak serta-merta menjadikan praktik kita sempurna dan “anti gagal”, karena hal itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari aktivitas praktik yang kita bersamai. Satu-satunya praktisi yang tidak pernah gagal dalam berpraktik adalah praktisi yang tidak berpraktik. Mau gagal bagaimana, praktik saja tidak?
Yang terpenting adalah kita terus dan selalu belajar dari setiap pengalaman yang kita lalui. Jika ada kegagalan, kita introspeksi diri dan belajar dari kesalahan. Melakukan kesalahan adalah hal yang wajar, yang tidak wajar adalah jika kita mengulang kesalahan, tandanya kita tidak belajar dari kesalahan kita.
Maka itulah, tidak perlu fokus pada “selesai dengan diri sendiri”, karena hal itu tidak akan membawa kita memulai praktik. Fokuslah pada “bertumbuh denngan diri sendiri”, karena semua kategori yang ada bisa kita penuhi selama kita bersungguh-sungguh menyiapkan diri untuk itu.