Perjalanan Mencari Teknik Terapi Paling Efektif
Hampir tiga bulan sudah perjalanan pembelajaran “Life Coaching Mastery (LCM)” berlangsung.
Seiring dengan semakin meningkatnya kedalaman pembelajaran para peserta, semakin dalam juga jenis-jenis pertanyaan dan topik diskusi yang mewarnai pembelajaran ini.
Di pertemuan terakhir dua minggu lalu, seorang peserta bertanya pada saya, apa teknik terapi yang paling efektif.
Agar ada konteks yang melandasi bahasan ini, perlu diketahui bahwa dalam program pembelajaran LCM para peserta mempelajari proses life coaching yang bersifat integratif. Selain proses dan teknik coaching dasar, peserta juga mempelajari teknik memfasilitasi perubahan pada sesama, dimana teknik memfasilitasi perubahan ini ada kalanya disebut sebagai teknik terapi.
Saya sendiri tidak menyebutnya sebagai teknik terapi, karena memang prinsip dan cara pandang yang melandasi pelaksanaannya berbeda. Namun untuk kemudahan pembahasan di tulisan ini, saya akan menyebutnya sebagai teknik terapi untuk sementara waktu.
Kembali ke pertanyaan peserta tadi, yaitu apa teknik terapi yang paling efektif, respon jawaban saya adalah “teknik terapi yang ketika dilakukan terbukti membawa hasil perubahan efektif”.
“Iya, tapi apa contoh tekniknya? Coach kan belajar macam-macam, dari hipnoterapi, EFT, NLP, dan lain sebagainya. Dari semua itu mana yang paling efektif?” peserta ini bertanya lagi lebih jauh.
Jawaban saya tetap sama, yaitu bisa yang mana pun, selama ia terbukti membawa hasil perubahan efektif.
Menangkap ekspresi kebingungannya, saya lalu menjelaskan cara pandang saya lebih jauh, termasuk pengalaman pribadi saya yang menuntun saya pada cara pandang ini.
Di awal praktik saya dulu, saya pernah disibukkan dengan pertanyaan yang sama. Terdorong untuk bisa memberikan hasil terbaik pada klien, saya memulai pencarian untuk mendalami berbagai macam teknik perubahan, mulai dari hipnoterapi, NLP, EFT, teknik penyembuhan berbasis energi, dan banyak lagi jenis teknik lainnya.
Hasilnya? “Bingung”, itulah satu kata yang mewakili pencarian saya.
Kebingungan ini bukan tanpa alasan. Setiap teknik memiliki cara pandangnya masing-masing. Disinilah perbedaan cara pandang ini melahirkan langkah pelaksanaan teknik yang ada kalanya meski nampak sama, namun sebetulnya memuat esensi yang berbeda.
Yang lebih repot lagi adalah ketika mempelajari teknik perubahan tertentu, ada kalanya instruktur yang mengajarkan teknik tersebut sedemikian “fanatik” dengan teknik yang dia ajarkan, namun sisi fanatisme itu termanifestasi secara tidak sehat, yaitu mendiskreditkan teknik lainnya, dan menganggap teknik yang diajarkannya adalah teknik paling efektif.
Alhasil para pembelajar yang masih awal-awal belajar dan belum memiliki pijakan yang kokoh jadi semakin bingung. Di satu sisi mereka belajar teknik yang “katanya efektif” dari instruktur yang mengajarkannya, tapi di sisi lain ketika mereka mencobakannya mereka tidak mendapati kisah keberhasilan yang sama. Lebih galaunya lagi adalah sepanjang mereka belajar mereka termakan propaganda bahwa teknik lain—yang sudah didiskreditkan di kelas—tidak efektif adanya. Jika yang “katanya efektif” saja tidak membawa hasil efektif, apalagi teknik lain, hal ini yang kemudian membuat mereka berputus asa dan kehilangan ketertarikan untuk kemudian meneruskan perjalanan mereka menekuni profesi sebagai fasilitator perubahan ini.
Sebagai catatan, saya tidak mengatakan bahwa fenomena yang terjelaskan di atas terjadi pada semua orang. Hal itu hanyalah bagian dari kisah pengalaman saya pribadi.
Pengalaman pencarian dengan mengalami berbagai kebingungan itu juga yang kemudian membawa saya pada berbagai sudut pandang yang saya adaptasi saat ini, yang bagi saya terasa lebih sehat—dan menenangkan—untuk membantu saya terus menekuni profesi ini.
Ada pun cara pandang ini saya bagi menjadi empat cara pandang.
Cara pandang pertama adalah perubahan orientasi dari hasil pada proses. Saya menyadari bahwa yang membutakan saya di awal pencarian dulu adalah karena saya ingin menjadi seseorang yang bisa “menyembuhkan” sesama. Setiap kali seseorang datang untuk dibantu, saya merasa saya harus menjadi seseorang yang “menyembuhkan” mereka. Cara pandang ini yang saya sadari kemudian menjadi cara pandang yang seolah ingin “melangkahi ketetapan Tuhan”.
Di kemudian hari saya menyadari bahwa kesembuhan selalu berpulang pada ketetapan Tuhan. Yang bisa saya lakukan bukanlah “menyembuhkan” para klien saya, melainkan “merancang sebuah proses yang membantu menciptakan proses penyembuhan, sesuai ketentuan alami penyembuhan yang digariskan Tuhan Yang Maha Kuasa”.
Artinya, kesembuhan bukanlah sebuah keajaiban yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan sebuah hasil akhir yang tercipta setelah melalui serangkaian proses yang teruji. Saya meyakini bahwa Tuhan tidak mungkin memberikan sebuah cobaan tanpa solusi. Begitu juga bersama sebuah masalah, pasti ada solusi kesembuhan yang Tuhan juga gariskan atasnya. Solusi kesembuhan inilah yang kemudian dunia pengetahuan modern coba formulasikan melalui serangkaian penelitian agar tercipta proses penyembuhan yang kualitasnya teruji serta konsisten.
Karena kesembuhan adalah dampak dari proses, maka tugas saya adalah merancang proses itu. Karena proses itu berpulang pada ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa maka sebetulnya bukan saya yang menyembuhkan klien. Maka itulah ketika klien tersembuhkan sekali pun saya tidaklah berhak mengklaim bahwa kesembuhan itu terjadi karena saya. Hal ini juga yang menjelaskan kenapa di website dan media sosial saya tidak ada testimoni klien dalam bentuk apa pun. Bagi saya, biarlah kesembuhan itu mereka syukuri langsung pada Tuhan.
Berpindahnya cara pandang dari hasil menuju proses ini yang membuahkan ketenangan tersendiri. Saya tidak lagi terobsesi pada menyembuhkan klien, melainkan berfokus pada merancang proses. Hal ini juga yang saya selalu komunikasikan pada para calon klien di awal sebelum mereka memutuskan menjalani penanganan bersama saya. Jika mereka paham, setuju dan siap menjalani sesinya dengan berpijak pada prinsip itu, barulah sesi penanganan bisa dirancang dan disepakati.
Cara pandang kedua—yang juga akan berhubungan dengan cara pandang pertama sebelumnya tadi—yaitu karena kesembuhan adalah dampak dari proses, maka esensi dari proses inilah yang perlu kita pahami.
Hal ini yang membawa saya untuk kemudian berfokus pada esensi di balik apa-apa yang saya pelajari. Saya tidak lagi berfokus pada teknik dan langkah-langkah prosedural, namun pada prinsip dan esensi yang melahirkan teknik dan langkah-langkah tersebut. Artinya, ketika belajar apa pun saya tidak lagi sebatas belajar bagaimana (how) melakukan yang diajarkan, melainkan perlu mencari tahu kenapa (why) hal itu diperlukan, yang menjadikan saya perlu menelusur asal-muasal dikembangkannya teknik itu sampai ke akarnya yang lebih awal.
Lebih melelahkan memang, tapi bagi saya itu semua sepadan. Hal ini yang membawa saya pada penemuan yang lebih esensial atas proses yang menciptakan kesembuhan. Ternyata di levelnya yang paling dasar, semua teknik terapi yang berbeda itu berpijak pada “hakikat” yang sama. Sejak menemukan hal ini jugalah saya terbebas dari rasa bingung ketika belajar teknik terapi apa pun.
Terlepas dari seberapa berbeda pun teknik itu terlihat, atau seberapa fanatik pun instruktur teknik itu menyuarakan efektivitas tekniknya dan membandingkannya dengan teknik terapi lain, saya tidak lagi terpengaruh. Saya hanya perlu kembali ke esensi atas hakikat kesembuhan yang saya temukan tadi, maka keterhubungan dari berbagai teknik itu lagi-lagi bisa saya pahami. Hal ini juga yang menjadikan saya lebih mudah untuk kemudian mengembangkan teknik apa pun lebih jauh, untuk menghasilkan berbagai teknik dan langkah penyembuhan yang lebih bervariasi.
Cara pandang ketiga yang saya temukan adalah menyadari bahwa setiap teknik terapi apa pun mensyaratkan “sikap”, yang menjadikan hal ini perlu kita “bumikan” dengan cara kita masing-masing.
Maksudnya begini. Terlepas dari rutinitas profesi yang mungkin nampak serupa, perlu disadari bahwa karakter segmen klien setiap praktisi akan berbeda. Dalam hal ini kita perlu menyadari bahwa setiap teknik terapi terlahir dengan adanya konteks yang melandasi kelahirannya, dimana konteks ini yaitu “latar situasi” sang praktisi yang memformulasikan teknik tersebut, mulai dari jenis klien yang ia temui, budaya tempat dimana ia berpraktik, kebiasaan berkomunikasi para kliennya, dan banyak lagi detail lainnya.
Sementara itu, mereka yang mempelajari teknik tersebut bisa jadi berpraktik dengan konteks yang berbeda. Ada kebiasaan yang berbeda antara klien dirinya dengan klien instruktur yang mengajarkannya, ada dinamika interaksi yang berbeda antara dirinya dengan kliennya dibandingkan dengan dinamika komunikasi klien dan instruktur yang mengajarkannya, dan berbagai perbedaan lainnya. Hal ini yang kemudian menjadikan teknik terapi yang dipelajari seseorang tidak kemudian menghasilkan hasil yang sama dengan yang dilakukan instruktur.
Oleh karena itulah dalam berbagai literatur teknik psikoterapi selalu ditekankan apa jenis sikap yang perlu ditampilkan seorang praktisi dalam mempraktikkan teknik yang dipelajarinya. Hal ini karena dari sikap itulah kemudian baru dinamika interaksi yang diperlukan untuk menghasilkan dampak kesembuhan yang diharapkan bisa tercipta.
Beberapa teknik terapi mensyaratkan praktisinya untuk menampilkan otoritas dan kharisma, beberapa teknik lainnya mungkin berkebalikan, praktisi teknik itu perlu menampilkan sisi lembut dan reseptif. Sikap dalam mempraktikkan teknik ini yang perlu kita pahami dan bumikan sesuai dengan dinamika praktik kita masing-masing.
Di salah satu proses pembelajaran saya dulu saya pernah belajar bersama instruktur yang menampilkan sikap sedemikian reseptif dan lembut. Bagi instruktur tersebut hal itu bekerja, karena itulah kepribadian dasarnya dan dengan sikap itulah ia terbiasa berinteraksi dengan para kliennya sampai tercipta interaksi yang dinamis.
Masalahnya adalah gaya itu tidak bisa sepenuhnya saya terapkan, karena dinamika interaksi saya dengan klien saya berbeda. Kepribadian kami berbeda dan gaya komunikasi kami berbeda. Hal ini yang menjadikan di awal-awal saya mempraktikkan teknik yang diajarkannya, teknik itu tidaklah menghasilkan hasil akhir yang sesuai. Baru kemudian setelah saya menyesuaikan sikap dalam mempraktikkan teknik itu sesuai dengan gaya saya sendirilah saya mendapatkan hasil akhir yang lebih sesuai harapan.
Hal penting lain yang perlu diingat adalah bahwa praktik bersama klien asli akan berbeda dengan praktik bersama teman praktik di kelas. Dinamika ini yang kadang luput untuk diperjelas dalam pembelajaran. Hal ini menjadikan ada celah (gap) antara teori dan realita. Ketika dipraktikkan di kelas, berbagai teknik yang diajarkan bekerja dengan baik, ketika dipraktikkan pada klien asli justru tidak.
Itulah kenapa di berbagai kelas pembelajaran khusus praktisi yang saya fasilitasi, seperti di kelas LCM yang sedang berlangsung sekarang, salah satu porsi pembelajaran yang saya perkuat adalah “cara membahasakan” proses perubahan pada klien. Dalam porsi pembelajaran ini praktisi harus belajar membahasakan proses perubahan pada klien asing yang sama sekali awam dengan apa yang akan dialaminya, dan menyiapkan klien agar siap menjalani proses tersebut supaya tercipta hasil akhir yang diharapkan.
Cara pandang keempat dan terakhir yang menutup tulisan ini yaitu penting bagi seorang praktisi untuk memiliki konsep diri dan nilai diri yang sehat atas dirinya sendiri sebagai fasilitator perubahan pada kliennya.
Konsep diri mengacu pada “cara pandang atau keyakinan atas diri sendiri” dan nilai diri mengacu pada cara seseorang menilai “kelayakan dirinya sendiri”.
Disinilah sering kali tanpa disadari beberapa praktisi terbekali dengan teknik terapi yang baik, namun terjebak dengan konsep diri dan nilai diri yang tidak sehat. Di lubuk hatinya mereka masih bermasalah dengan konsep diri dan nilai diri. Terlepas dari seberapa banyak dan dalam mereka belajar teknik terapi apa pun, tanpa disadari ada mental block dalam diri mereka yang menjadikan mereka masihlah memandang dirinya tidak layak menjadi seorang praktisi. Istilah sederhana yang kerap dikatakan oleh kalangan awam adalah “tidak percaya diri”.
Konsep diri dan nilai diri yang rendah inilah yang menjadikan para praktisi ini terobsesi dalam perjalanan mencari teknik yang dianggapnya bisa “menambal” konsep diri dan nilai diri yang rendah itu. Ironisnya, di setiap pembelajaran yang mereka pelajari mereka tidak mendalaminya secara cukup mendalam, dan bahkan melewatkan ketiga cara pandang yang sudah kita bahas di atas tadi.
Alhasil, sebenarnya penguasaan teknik merekalah yang bermasalah, namun mereka beranggapan “teknik yang dipelajarinyalah yang tidak efektif”. Lagi-lagi, hal ini membawa mereka berpindah-pindah mencari “teknik ajaib” yang mereka harap bisa menjadi solusi atas kesulitan mereka membantu para kliennya. Padahal, yang pertama perlu dibantu adalah diri mereka sendiri, yaitu pembenahan pada konsep diri dan nilai diri yang rendah, yang disusul dengan pendalaman pemahaman yang memadai atas setiap teknik yang pernah mereka pelajari.
Bruce Lee konon pernah mengatakan, “Aku tidak takut pada mereka yang melatih sepuluh ribu jenis tendangan, namun aku takut pada mereka yang melatih satu jenis tendangan sepuluh ribu kali.” Hal ini menegaskan sebuah pesan moral bahwa satu teknik yang sederhana sekali pun akan membawa hasil perubahan luar biasa ketika ia dipraktikkan oleh seorang praktisi yang: (1) memiliki konsep diri dan nilai diri yang sehat, (2) memahami esensi dari teknik yang ia praktikkan, (3) menampilkan sikap yang diperlukan dalam mempraktikkan teknik yang digunakannya, dan (4) mampu membumikan pelaksanan teknik itu sesuai konteks praktik pribadinya.
Sebaliknya, sebuah teknik yang canggih dan konon terbukti efektif sekali pun akan terus memunculkan hasil yang tidak sesuai harapan jika ia dipraktikkan oleh praktisi yang: (1) memiliki konsep diri dan nilai diri yang buruk, (2) tidak memahami esensi dari teknik yang ia praktikkan, (3) gagal menampilkan sikap yang diperlukan dalam mempraktikkan teknik yang digunakannya, dan (4) tidak membumikan pelaksanan teknik itu sesuai konteks praktik pribadinya.