Episode 96 – Hati dan Cara Pandang
Tergelitik untuk mengangkat sepetik tema bahasan dari buku terbaru saya, yaitu “Life Mastery Essential” yang baru diluncurkan bulan Februari 2025 lalu, tema bahasan di audio podcast kali ini ditujjukan untuk membahas hati, namun dalam konteks “sebagai cara pandang”.
Mari simak bahasannya di Audio Podcast hari ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kesembilan puluh enam Life Restoration Podcast berjudul ‘Hati dan Cara Pandang’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Hati dan Cara Pandang
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode sembilan puluh enam.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada … berjumpa kembali di Life Restoration Podcast, episode 96 kali ini, seperti biasa, bersama saya, Alguskha Nalendra.
Mengawali episode kali ini, seperti biasa juga tentunya, doa terbaik tertuju untuk Anda sekalian, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Tidak lupa, karena episode ini juga hadir di tengah suasana bulan Ramadhan di bulan Maret tahun 2025, saya juga mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi Anda semua yang menjalankan ibadah puasa. Semoga segenap ibadah yang dijalankan menjadi berkah bagi diri Anda dan mereka yang Anda kasihi.
Episode kali ini saya buka dengan kisah pribadi saya. Jadi beberapa waktu lalu saya berkendara dengan sepeda motor. Bagi Anda yang mengikuti saya di media sosial mungkin sudah cukup familiar juga lah ya bahwa salah satu hobi saya yaitu hobi seputar sepeda motor, mulai dari berkendara, sampai ke modifikasi.
Bukan kebetulan, di perjalanan saya beberapa waktu lalu turun hujan lebat. Namanya naik motor ya tahu sendiri kan, kalau panas tidak kehujanan dan kalau hujan tidak kepanasan, he … he …ngomong-ngomong, hujan yang saya alami ini termasuk lebat, sampai-sampai saya harus memakai jas hujan di seluruh tubuh.
Ya sekedar informasi juga, di situasi-situasi saat ini memang sedang musim hujan di kota tempat tinggal saya di Bandung. Bahkan recording episode ini pun dilakukan di tengah suasana hujan. Jadi saya mohon maklum kalau ada suara tetes hujan atau suara gemuruh ya, karena memang hujannya juga cukup lebat ini kalau saya perhatikan.
Kembali ke kisah pribadi saya tadi. Kisah menariknya justru terjadi sesudah saya tiba di tempat tujuan. Saya tiba di tempat tujuan di waktu belum terlalu gelap, masih termasuk siang lah hitungannya.
Tibanya saya di tempat tujuan, pas bertepatan dengan berhentinya hujan. Ya sudah, saya segera beres-beres, memarkirkan motor, membereskan jas hujan, sedikit membersihkan diri, lalu istirahat sebentar.
Sudah cukup waktu istirahat saya lalu sedikit berjalan-jalan di tempat tujuan saya itu. Maksud hati ingin menikmati pemandangan alamnya, karena memang pemandangan alam di tempat yang saya kunjungi itu dikenal indah.
Waktu berjalan, saya merasakan ada hal yang aneh. Saya tidak bisa menikmati pemandangan alam di tempat itu dengan nyaman, rasanya ada saja yang mengganjal, yang membuat saya tidak nyaman. Padahal tempatnya indah, tapi saya tidak bisa menikmati keindahan yang ada di tempat itu.
Segala yang saya lihat malah nampak … apa ya istilahnya … butek … nah saya tidak tahu itu bahasa resmi tidak ya, tapi ya itu kesannya, ada kesan butek di apa pun yang saya lihat.
Akhirnya, setelah sekian waktu berlalu, saya menyadari apa yang membuat saya tidak nyaman, kaca mata saya buram kacanya. Ada uap, tetesan air, kotoran, dan entah apa lagi itu yang menempel di kaca mata saya. Intinya, kaca mata itu kotor dan tidak baik-baik saja.
Akhirnya saya putuskan untuk duduk sebentar, saya ambil cairan pembersih kaca mata dan juga lap khusus kaca mata, juga tisu. Ya sudah saya fokus dulu bersih-bersih kaca mata saya. Pemandangan di depan sana saya abaikan dulu.
Selesai membersihkan kaca mata, saya kembali memakai kaca mata itu. Sebagaimana sudah bisa ditebak, kali ini pemandangan itu jadi terlihat berbeda sekali. Berbagai keindahan yang tadi tidak saya sadari, kali ini jadi bisa saya sadari dengan lebih baik. Berbagai detail dari objek-objek di tempat pemandangan itu nampak menarik sekali kali ini.
Ngomong-ngomong, tidak semua juga objek di tempat pemandangan itu objek yang indah dengan warna-warna yang semarak. Saya masih ingat, ada satu bangunan tua, bangunan yang sudah tidak terurus, tapi ciri khas klasiknya masih jelas terlihat. Kalau dipikir-pikir, bangunan itu bisa saja merusak keindahan tempat dengan pemandangan alam indah itu. Tapi bukan itu yang terjadi, kali ini bangunan itu justru memberi nuansa tersendiri, ada nuansa klasik, vintage, retro, atau apalah itu namanya ya he … he …
Yang jelas, nuansa tempat itu justru jadi berbeda dengan adanya bangunan tua itu, saya seolah ikut jadi saksi sejarah seperti apa tempat itu berkembang dari masa ke masa, dengan bangunan tua itu sebagai saksi bisunya.
Duh putis sekali ya he … he …ya intinya dari cerita itu saya ingin menyampaikan satu pesan pembelajaran, bahwa bukan apa-apa yang ada di luar diri kita yang mempengaruhi perasaan, pemikiran, dan sikap kita, tapi cara pandang kita atas apa yang kita lihat di luar diri kita, atau cara kita memandang yang terjadi, yang menentukan perasaan, pemikiran dan sikap kita atas hal yang kita lihat itu.
Kalau kembali meminjam kisah pribadi saya tadi, bisa kita sadari bahwa yang bermasalah bukan pemandangan di luar diri saya, tapi kaca mata yang saya gunakan dalam memandang pemandangan itu. Kaca mata itulah yang melambangkan cara pandang dalam kisah itu. Ternyata, pemandangan yang indah sekali pun bisa jadi nampak buram dan tidak menyenangkan, saat kaca yang kita gunakan untuk memandangnya buram. Catat, yang buram adalah kacanya, bukan pemandangannya.
Ketika kaca itu saya bersihkan, maka pemandangan di luar sana jadi nampak dan terasa keindahannya. Tidak ada yang berubah pada pemandangan di luar sana. Dari sejak saya datang sampai kaca itu saya bersihkan semua pemandangan itu tetap sama, tidak ada yang berubah. Yang terjadi adalah semua itu jadi terlihat dan terasa berbeda, karena kaca yang saya gunakan untuk melihatnya sudah berbeda kali ini, sudah jernih dan bersih.
Begitu juga situasi yang tidak biasa pun bisa jadi sesuatu yang bernilai ketika kaca yang digunakan untuk memandangnya bersih. Seperti gedung bangunan tua di kisah saya tadi. Ia bangunan yang sebenarnya tua dan klasik, termasuk aneh melihatnya berdiri di tengah pemandangan alam yang berwarna semarak.
Tapi karena kaca yang saya gunakan untuk melihatnya sudah bersih, maka bangunan itu jadi punya nilai tersendiri. Ada nilai-nilai yang khas yang bisa saya lihat pada bangunan itu, yang membuatnya jadi menambah nuansa yang melengkapi pemandangan itu.
Dalam hidup ini, bukankah hal yang sama terjadi? Semua yang kita alami dalam hidup ini masihlah merupakan peristiwa yang netral, ia belum bernilai positif atau negatif. Ia baru menjadi sebuah pengalaman positif atau negatif bergantung pada cara pandang yang kita gunakan dalam menilainya.
Apa istilah sederhana untuk “cara pandang” ini? Atau dalam episode ini saya menyebutnya “hati”.
Yes, hati yang kita gunakan untuk menilai segala sesuatu.
Sebanyak apa pun anugerah yang Tuhan berikan dalam hidup ini, akan terus terlihat sebagai masalah dan kekurangan kalau kita hanya melihatnya dengan hati yang penuh dengan kedengkian dan lalai dalam bersyukur.
Yang salah bukan apa-apa yang ada di luar diri kita, tapi hati yang kita gunakan untuk menilainya, untuk mengartikan yang terjadi.
Begitu juga sebanyak apa pun masalah yang kita alami dalam hidup ini, akan bisa kita petik arti dan hikmahnya, kalau kita melihatnya dengan hati yang penuh rasa syukur, yang meyakini bahwa Tuhan tidak akan menciptakan dan menghadirkan sesuatu dengan sia-sia. Pasti ada manfaat atau hikmah yang Tuhan siapkan di balik apa-apa yang dihadirkan-Nya bagi kita dalam hidup ini.
Yang terjadi tidak jadi masalah kali ini, karena kita mengartikannya sebagai hikmah, sebagai pembelajaran.
Pertanyaannya, apa cara pandang yang kita gunakan untuk menilai dan mengartikan hidup ini? Atau, seperti apa kualitas hati yang kita gunakan untuk menilai dan mengartikan hidup ini?
Bagi hati yang penuh dengan rasa syukur, selalu ada hal untuk disyukuri di setiap waktu yang dijalani.
Bagi hati yang penuh dengan kedengkian, selalu ada hal untuk dikeluhkan di setiap waktunya.
Begitu juga bagi hati yang penuh dengan luka, selalu ada hal yang terasa menyakitkan di setiap waktu yang dilalui dalam hidup ini. Dalam kenyataannya, bukan yang terjadi yang menyakitkan, tapi hati kita sendiri yang memang dasarnya sakit, sehingga apa-apa jadi terasa menyakitkan,
Mumpung sedang masuk ke bahasan seputar luka ini, saya pernah di salah satu bahasan di Youtube Channel saya mengangkat fenomena ini, yaitu fenomena hati yang terluka.
Bayangkan seseorang yang sekujur tubuhnya penuh luka. Setiap kali ia bersentuhan dengan apa pun di luar dirinya maka luka itu tersentuh dan ia pun merasakan rasa sakit yang luar biasa dari lukanya itu. Dari fenomena ini kita belajar, bahwa bukan yang terjadi di luar sana yang menyakitkan orang ini, tapi lukanya sendiri yang pada dasarnya belum sembuh, yang membuat apa-apa yang menyentuhnya jadi terasa menyakitkan.
Bagi mereka yang sekujur tubuhnya penuh luka, ada sentuhan kecil sedikit saja, meski sentuhan itu tidak bermaksud menyakiti, tetap akan terasa menyakitkan. Ironisnya, hal ini bisa membuat mereka memandang yang terjadi secara negatif, membuat mereka memandang hidup ini menyakitkan. Mereka bisa memandang bahwa hidup ini penuh dengan apa-apa yang bisa menyakiti mereka, hidup ini penuh dengan bahaya, hidup ini dipenuhi orang-orang yang ingin menyakiti mereka.
Lagi-lagi, bukan karena kehidupan ini yang menyakitkan, atau karena orang-orang ingin menyakiti mereka, tapi karena hati mereka sendiri yang sakit atau penuh luka.
Sebaliknya, bagi mereka yang kuat hatinya, yang tabah dan penuh rasa syukur, ia diibaratkan seseorang yang sekujur tubuhnya kuat dan kokoh. Ketika ada yang menyenggolnya maka itu diartikan sebagai hal biasa, bukan sesuatu yang dianggap negatif yang menyakitkannya. Bahkan dalam skala yang tidak disangka-sangka, kalau pun ada orang yang berusaha menyakiti, mereka tetap tidak gentar dan tidak mudah tersakiti, karena dasarnya tubuh mereka kokoh dan tahan banting.
Sedemikian dahsyatnya pengaruh dari hati ini, sampai seseorang bisa rentan tersakiti atau kokoh dan kuat, dipengaruhi olehnya. Begitu juga seseorang bisa mudah mengeluh atau punya cukup kekuatan untuk senantiasa mensyukuri yang terjadi, dipengaruhi oleh kualitas hati ini.
Tapi ya hati ini hanya istilah saya saja untuk memudahkan kita memahami bahasan kita kali ini. Dalam fenomena praktiknya, saya menyebutnya tetap dengan istilah yang tadi sempat saya gunakan, yaitu cara pandang.
Dulu, fokus utama saya setiap membantu klien di sesi terapi, konseling atau coaching adalah pembenahan emosi yang mereka rasakan, atau dengan kata lain, penyembuhan luka batin yang mereka rasakan.
Sekarang, hal itu tentu masih saya lakukan. Bedanya adalah sekarang-sekarang ini ada fokus yang berbeda yang saya curahkan pada pembenahan cara pandang klien. Hal ini karena cara pandang yang bermasalah adalah salah satu cikal-bakal dari gejala masalah yang terus saja bermasalah tanpa tuntas terselesaikan.
Kita pakai contoh kisah ya. Dulu ada klien saya yang bermasalah dengan gejolak kebencian pada orang tuanya karena ia merasa orang tuanya sedemikian menyakiti dan menzaliminya dalam hidupnya.
Di sesi yang saya bersamai dulu, saya bisa membantunya untuk menetralkan gejolak kebenciannya, ia bisa pulang dengan perasaan lega dan nyaman. Saya tentu lega dengan perubahan yang ia rasakan, sampai kemudian …
Beberapa minggu berlalu ia datang kembali, dengan keluhan yang kurang lebih sama. Memang ada sedikit perbedaan pada gejala masalah yang ia alami, tapi kalau mau dicermati, sebetulnya esensinya sama saja, permasalahan gejolak emosi yang lagi-lagi tertuju pada orang tuanya.
Saya termenung. Bukannya di sesi sebelumnya gejolak itu sudah saya netralkan? Begitu batin saya berkata. Lalu kenapa gejolak ini muncul lagi? Di sesi itu akhirnya saya tidak langsung memfasilitasi penanganan. Saya lebih banyak diam dan mendengarkan aspirasinya atas yang terjadi, dan atas masalahnya.
Di sela-sela mendengarkan itulah saya tersadar, dari banyak ucapan yang ia lontarkan, ada banyak sekali ucapan yang sebenarnya bernadakan cara pandang negatif terhadap orang tuanya, terhadap yang terjadi, terhadap hidup ini. Saya baru tersadar bahwa cara pandang negatif ini memang tidak banyak saya sentuh di sesi sebelumnya.
Akhirnya fokus perubahan di sesi itu saya rubah, saya tidak langsung membantunya menetralisir gejolak emosinya, tapi mengajaknya menyadari cara pandang yang ia gunakan untuk menilai orang tuanya, dan dalam menilai hidup ini. Pertama-tama saya menjelaskan dulu tentang cara pandang ini dan pengaruh dari cara pandang terhadap diri kita. Setelah memahami penjelasan saya, klien saya ini pun sadar bahwa memang cara pandang yang ia gunakan untuk menilai situasi adalah cara pandang yang bermasalah, tapi ia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengubah cara pandang itu.
Di sini baru proses perubahan saya lanjutkan. Pertama, saya membantunya menetralisir dulu gejolak emosi yang ia rasakan, baru setelahnya saya mengajaknya mengevaluasi cara pandangnya terhadap orang tuanya dan terhadap yang terjadi.
Tidak mudah memang, tapi secara bertahap cara pandangnya bergeser. Ia mulai bisa menilai yang terjadi secara berbeda. Dulu ia menilai orang tuanya jahat dan zalim. Kali ini ia bisa melihat bahwa orang tuanya sebetulnya adalah orang-orang yang bermasalah karena membawa rasa sakit dari pengalaman masa kecil dan pengasuhan mereka sendiri dulunya.
Perhatikan, dulu cara pandang yang ada adalah “orang tuanya jahat”, kali ini berubah menjadi “orang tuanya adalah orang-orang yang tersakiti”, kira-kira akan mengubah sesuatu dalam dirinya tidak? Jelas. Tapi itu baru satu. Dalam kenyataannya saya membantunya menyadari lebih banyak lagi cara pandang yang bermasalah ini, ditotal-total ada sekitar belasan cara pandang yang bermasalah yang saya bantu temukan dan sadari dalam dirinya terhadap orang tuanya, terhadap situasi, dan terhadap hidup ini.
Baru kemudian secara bertahap setiap cara pandang yang bermasalah itu kita evaluasi dan rubah bersama satu-persatu. Cara mengubahnya ini sendiri termasuk teknis lah ya, saya menggunakan berbagai teknik NLP dan teknik perubahan lainnya sampai cara pandang ini bisa berubah satu-persatu.
Di akhir sesi klien saya ini mendapatkan berbagai cara pandang baru yang menggeser atau menggantikan cara pandang lamanya. Ia pun pulang dengan berbagai cara pandang baru ini. Kali ini saya memberikan atensi khusus untuk mengevaluasi kemajuannya dan memintanya datang lagi di satu minggu setelahnya untuk sesi evaluasi lanjutan.
Satu minggu berlalu, klien saya ini datang kembali. Kali ini ada yang berbeda pada reaksinya. Kalau biasanya ketika klien ini datang saya sudah bisa merasakan berbagai akumulasi emosi yang terpendam, kali ini tidak, seolah badai dalam dirinya sudah tenang kali ini. Tapi ya tetap harus saya pastikan juga, maka saya pun bertanya seperti apa perkembangan dirinya dan situasinya kali ini.
Klien saya ini pun mengisahkan, kali ini ia jadi lebih bisa mengendalikan diri, ia tidak lagi mudah tersulut emosinya seperti dulu sebelumnya. Kalau sebelumnya, baru berjarak satu minggu saja akumulasi emosi itu sudah banyak sekali, sampai kemudian beberapa minggu berlalu ia tidak tahan dan memutuskan menjalani sesi lanjutan.
Kali ini tidak, di satu minggu ini saja ia sudah bisa merasakan sekali bagaimana ada kendali diri dan kesadaran yang meningkat atas perilakunya. Ia tidak membenarkan perilaku orang tuanya. Ia tetap tahu bahwa yang mereka lakukan bukan tindakan yang bisa dibenarkan, Tapi emosinya tidak tersulut. Ada pemahaman yang terbangun dalam dirinya yang membuat ia bisa lebih bersimpati pada yang terjadi dan lebih bisa mengendalikan diri untuk memilih bagaimana ia seharusnya menyikapi itu semua.
Sejak saat itulah saya jadi semakin banyak memfokuskan perubahan pada cara pandang ini, sampai-sampai ada proses atau fase khusus yang saya curahkan untuk benar-benar mengevaluasi cara pandang ini agar klien benar-benar mengadaptasi cara pandang yang sehat, yang bisa mendukung perubahannya.
Ada yang bertanya, apakah cara pandang ini serupa dengan sistem keyakinan atau belief system? Hmm … sebetulnya ada sedikit perbedaan, tapi untuk bahasan kali ini kita anggap saja keduanya sama. Untuk tujuan mempermudah pemahaman saja lah ya.
Maka, waktunya kita juga mengevaluasi, apa cara pandang yang kita gunakan untuk melihat hidup ini, untuk memahami apa-apa yang terjadi di sekitar kita. Apakah cara pandang yang kita gunakan sehat dan bermanfaat, atau tidak sehat dan menghambat.
Kehidupan di luar diri kita tidak selalu bisa kita ubah begitu saja. Beberapa hal bisa sedemikian berjalan di luar kendali kita untuk kita ubah begitu saja. Tapi cara pandang kita berada dalam kendali kita. Kita bisa menyesuaikan dan bahkan mengubahnya.
Jadi, pastikan, cara pandang ini adalah cara pandang yang sehat, yang bermanfaat, yang mendukung kualitas hidup yang ideal yang kita harapkan.
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.