Episode 91 – Kenali Diri Di Balik Topeng
Disadari atau tidak, ada “topeng” yang kita kenakan dalam menjalani kehidupan sosial.
“Persona“, itulah istilah yang kurang lebih mewakili fenomena ini.
Jika topeng itu kita gunakan untuk menjalani kehidupan, bagaimana dengan diri di balik topeng itu?
Sudahkah kita kenali sosok diri di balik topeng itu?
Mari simak bahasannya di Audio Podcast hari ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kesembilan puluh satu Life Restoration Podcast berjudul ‘Kenali Diri Di Balik Topeng’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Kenali Diri Di Balik Topeng
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode sembilan puluh satu.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada …berjumpa kembali bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast, yang memasuki episode 91 kali ini.
Bahagia sekali rasanya bisa kembali membersamai Anda melalui suara seperti ini, sesuatu yang saya sangat sukai dan saya rindukan di setiap minggunya. Itulah kenapa ketika sekian lama saya sempat vakum membersamai Anda di audio podcast ini rasanya ada yang kurang gitu ya rasanya he … he …
Ya semoga saja di minggu-minggu yang akan datang dan seterusnya pun saya tetap bisa membersamai Anda di audio podcast ini, dan juga di berbagai lini media sosial saya.
Karena memang di tahun 2025 ini saya meniatkan untuk kembali mewarnai berbagai media sosial saya dengan berbagai konten inspiratif seperti dulu. Bukan hanya niat sebenarnya, perencanaanya pun sudah dibuat dan sudah mulai berjalan. Maka itulah Anda mungkin juga mendapati media sosial saya kali ini sudah kembali “semarak”, setidaknya dibandingkan sebelumnya he … he …
Untuk itu saya juga mohon doanya ya agar saya terus diberikan kekuatan untuk membersamai Anda di berbagai inspirasi yang sebisa mungkin saya bagikan.
Mengawali episode kali ini, seperti biasa tentunya, doa terbaik untuk Anda semua, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Baiklah, kita mulai saja. Episode kali ini akan mengangkat sebuah tema yang berhubungan dengan lika-liku interaksi diri dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Lho kok tumben membicarakan kehidupan sosial bermasyarakat? Begitu mungkin pikir beberapa orang.
He .. he … tumben dari mana? Pada dasarnya berbagai bahasan yang saya angkat ya ujung-ujungnya akan tiba di kehidupan sosial bermasyarakat.
Bagaimana pun masyarakat adalah gabungan dari individu, yang membentuk kelompok, yang sampai di tataran tertentu kemudian menjadi sebuah masyarakat.
Di banyak bahasan saya sebelumnya memang saya lebih banyak menyoroti topik yang berhubungan dengan sisi dalam diri kita sebagai individu, baik itu yang berhubungan dengan penyembuhan luka batin, pencapaian, kebahagiaan, dan lain sebagainya.
Tapi ya kembali ke yang saya sebutkan tadi, meski bahasan itu menyasar individu, tetap saja ketika para individu ini berinteraksi satu sama lain akan tercipta pola kehidupan bermasyarakat kan? Pada akhirnya kualitas individu akan membentuk kualitas masyarakat.
Jadi begitu kurang lebih hubungan dari berbagai bahasan saya sebelumnya dengan kehidupan bermasyarakat. Nah di episode kali ini agak sedikit dibalik, yang pertama dibahas adalah kehidupan bermasyarakatnya dulu, baru kemudian hubungannya dengan diri kita, atau tepatnya diri kita yang sebenarnya.
Wah … wah … baru mulai saja agaknya sudah ada berbagai hal yang terkesan mendalam dan butuh penafsiran lebih lanjut ya he .. he … tenang kita akan mulai membahasnya sekarang.
Sesuai dengan judul dari episode kali ini, topik utamanya adalah mengenali diri kita yang sebenarnya di balik berbagai topeng yang kita kenakan.
Apa yang muncul di pikiran Anda ketika mendengar kata “topeng”? Besar kemungkinan yang muncul adalah sesuatu yang dikenakan menutupi wajah, sehingga wajah kita yang sebenarnya tidak terlihat, betul?
Nah sekarang topeng ini baik tidak? Pada umumnya, sekali lagi pada umumnya lho ya, bukan berarti semuanya, topeng sering kali dipandang sebagai hal negatif. Ia dipandang sebagai hal yang menjadikan kita tidak menampilkan sosok diri kita yang sebenarnya. Ada kalanya juga ia identik dengan “kepalsuan”. Seolah kita menyembunyikan sesuatu di balik topeng yang kita kenakan.
Dalam bahasan dunia konseling, ada kalanya kita juga menggunakan istilah “masking”, yaitu ketika seseorang menampilkan sikap tertentu untuk menutupi yang sebenarnya terjadi dalam dirinya. Misalnya seseorang yang sedang sedih dan berduka, justru menampilkan ekspresi yang riang dan gembira agar kesedihan dan kedukaannya tidak diketahui oleh orang-orang di sekitarnya.
Hal-hal yang berkonotasi “menyembunyikan” ini yang menjadikan topeng identik dengan asosiasi negatif, seolah ia sesuatu yang buruk.
Padahal … apakah topeng ini adalah betul suatu hal yang buruk? Justru disinilah kita perlu tahu bagaimana topeng terbentuk, dimana hal ini berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat. Ketidaktahuan dan ketidaksadaran akan fungsi dari topeng ini juga justru bisa berdampak negatif. Begitu juga sebaliknya, jika kita mengetahui fungsi dari topeng ini maka lebih besar kita berpeluang mendayagunakannya untuk kebaikan diri kita.
Terbentuknya topeng tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat. Istilah yang sering saya gunakan untuk menyebut topeng ini adalah “kemasan”. Karena ia memang menjadi sebuah “kemasan” akan bagaimana sesuatu seharusnya ditampilkan dan diterima oleh masyarakat.
Di setiap masyarakat, akan ada adat, budaya dan cara pandang atas sikap dan perilaku yang dianggap pantas, baik dan boleh dilakukan di masyarakat itu. Ketika ada seseorang yang menampilkan perilaku yang dianggap tidak pantas, tidak baik dan tidak boleh dilakukan, apa yang kemudian terjadi pada orang itu? Yes, ia dianggap buruk, jahat dan berbagai konotasi negatif lainnya.
Dalam hal ini, bagaimana pun juga manusia adalah makhluk sosial. Dari sejak awal kita lahir dan mengalami proses tumbuh kembang, ada naluri untuk bersosialisasi dalam diri kita, atau istilah lainnya: untuk bisa diterima secara sosial.
Dari kita kecil, kita dididik oleh lingkungan dengan adat, budaya dan cara pandang atas hal-hal yang dianggap baik dan pantas oleh lingkungan itu, yang di kemudian waktu menjadi tidak ubahnya sebuah “aturan”. Lingkungan mengajarkan kita, bahwa jika ingin diterima oleh lingkungan, maka ikutilah aturan itu.
Dengan kepolosan kita sejak kecil, aturan itu kita internalisasi ke dalam diri kita, menjadi bagian dari diri kita, sehingga kita pun familiar dengan aturan itu, ikut menjadikan aturan itu bagian dari cara pandang kita atas dunia.
Seiring kita bertumbuh dewasa, kita pun jadi lebih kritis. Dengan semakin banyaknya kita belajar dan memahami berbagai hal, cara pandang kita pun jadi lebih luas. Disinilah ada kalanya muncul pertanyaan, dan bahkan “kritik” dalam diri kita atas aturan yang pernah kita anggap sebagai keharusan
Dengan kata lain, kita kelak menyadari bahwa tidak semua aturan yang kita ikuti itu kita sukai. Kalau boleh jujur, kita akan menyadari bahwa ada saja aturan-aturan yang kita tidak sukai, tapi terpaksa kita ikuti. Kenapa? Karena itu bagian dari kehidupan bermasyarakat. Ketika kita tidak mengikutinya maka hal itu akan menimbulkan “riak”, atau ketidakteraturan di masyarakat, yang berdampak pada penolakan sosial atas diri kita.
Contohnya saja, sebut saja Anda adalah seseorang yang sebetulnya sukanya berpenampilan santai dan apa adanya. Anda tidak suka berpenampilan rapi dan formal.
Satu ketika Anda mendapatkan undangan untuk menghadiri acara formal yang mensyaratkan Anda untuk tampil rapi dan formal. Apa respon Anda?
Anda punya dua pilihan kan, mengikuti apa yang menurut Anda mewakili diri Anda apa adanya, tetap tampil santai dan apa adanya, atau memakai topeng berpenampilan rapi dan formal, yang menurut Anda “bukan saya banget”, mengikuti apa yang dianggap sebagai “aturan” di undangan itu.
Disini kita tidak bicara soal salah dan benar, karena keduanya akan menjadi relatif dan dimaknai secara berbeda oleh setiap orang, sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Yang kita bicarakan adalah “dampak”.
Menjadi diri sendiri apa adanya, menurut standar yang kita yakini, tampil santai, akan membawa dampak, begitu juga ketika kita memakai topeng berpenampilan rapi dan formal demi mengikuti aturan masyarakat. Yang mana yang dampaknya kita siap terima?
Misalnya saja Anda ngotot mengikuti yang menurut Anda benar, tampil santai dan apa adanya. Apa dampak dari hal ini? Yes, cara pandang yang miring dari orang-orang di sekitar, karena Anda tidak mengikuti aturan yang diberlakukan di tempat itu. Bukan tidak mungkin hal ini akan menimbulkan keributan karena Anda dianggap tidak menghormati jalannya acara.
Kira-kira siap tidak dengan konsekwensi itu? Bukan hanya sebatas itu, tapi konsekwensi jangka panjangnya, baik bagi orang terdekat kita, atau pun pada suasana di masyarakat tempat kita tinggal, yang kali ini bisa jadi lebih “terbelah” opininya dalam memandang persoalan, sampai kemudian muncul riak sosial.
Sekarang kebalikannya, Anda mengikuti aturan sosial yang disepakati di sana, yaitu berpenampilan rapi dan formal. Anda tahu itu bukan diri Anda banget, tapi menurut Anda hal itu sebaiknya dilakukan untuk menjaga keteraturan sosial, maka Anda harus siap berdamai dengan konsekwensi ketidaknyamanan yang ditimbulkannya bahwa untuk sekian waktu Anda harus menjadi sosok yang bukan diri Anda banget.
Yang mana yang menurut Anda lebih bisa Anda terima? Berpulang pada prinsip dan keputusan Anda bukan?
Apa yang bisa kita simpulkan sejauh ini? Yes, topeng punya fungsi, ia ada salah satunya adalah untuk menjaga keteraturan sosial. Topeng adalah produk sosial yang tercipta dari perjalanan evolusi kehidupan bermasyarakat.
Bisakah kita tidak harus mengenakan topeng ini dan menjadi diri kita sebagaimana kita menginginkannya? Tanpa bermaksud menggeneralisir, saya akan mengatakan hal ini sulit. Kenapa demikian? Karena lagi-lagi, kita adalah makhluk sosial. Seberapa mandiri pun diri kita, di kadar tertentu kita sadar bahwa ada waktu dimana kita memerlukan interaksi sosial untuk memenuhi kebutuhan kita. Hal ini yang menjadikan kita punya naluri menghormati adat dan budaya di tempat dimana kita tinggal.
Sekarang memasuki bahasan selanjutnya. Bagaimana dengan diri di balik topeng ini, atau yang kita maksudkan sebagai “diri kita yang sebenarnya”?
Ya ini yang saya maksudkan tadi, aspirasi diri kita yang sebenarnya, apa yang menurut kita baik, benar, dan kita sukai. Yang satu ini kita sendiri yang paling tahu lah ya. Bisa berdasarkan hasil tes kepribadian, atau bisa juga sekedar berdasarkan pemahaman kita atas diri kita sendiri, atas hal-hal yang menurut kita baik, benar dan kita sukai.
Yang terpenting di sini bukan sebatas mengenali diri kita yang sebenarnya di balik topeng yang harus kita kenakan dalam kehidupan bermasyarakat, namun memahami alasan kenapa topeng itu kita kenakan.
Beberapa orang mengenakan topeng karena mereka merasa lemah atau tidak bernilai, sehingga mereka harus mengenakan topeng tertentu agar mereka bisa diterima oleh orang di sekitarnya. Mereka bisa menunjukkan sikap yang berkebalikan dengan diri mereka yang sebenarnya. Mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai sekali pun, demi mendapatkan penerimaan dari orang di sekitarnya.
Ini yang saya kerap katakan kita mengenakan topeng dengan cara yang tidak tepat. Kenapa? Karena dua hal. Pertama, ia bersumber dari kelemahan batin kita, ia bersumber dari rasa takut, dimana hal ini biasanya berhubungan dengan luka batin masa lalu. Kedua, karena ia menjadi sebuah “pembohongan” diri, kita menyangkal diri kita yang sebenarnya dan menjadi sosok lain demi sebuah penerimaan semu dari lingkungan kita.
Jadi yang seperti apa yang lebih ideal? Yaitu kita mengenakan topeng dengan kekuatan dan kesadaran. Bahwa kalau pun di situasi tertentu kita harus mengenakan topeng tertentu, itu karena ada dampak sosial yang kita ingin jaga di lingkungan itu. Kita tahu dan sadar itu bukan diri kita yang sebenarnya, tapi ada tuntutan sosial yang perlu kita penuhi agar berbagai keteraturan yang ada bisa terjaga dengan baik. Hal inilah yang menempa diri kita untuk menguasai berbagai keahlian sosial untuk beradaptasi.
Saya termasuk salah satunya. Banyak orang menyangka saya pribadi yang ekstrovert, karena profesi saya yang mensyaratkan saya untuk bertemu banyak orang dan berkomunikasi secara aktif, apalagi kalau saya sedang harus tampil berbicara di depan ratusan orang. Padahal … saya pribadi yang introvert he .. he …
Yes, saya sebetulnya lebih menyukai keheningan dan ketenangan. Saya termasuk yang sensitif dengan suara berisik. Kebisingan termasuk hal yang bisa terasa mengganggu bagi saya. Apalagi keramaian dan hingar-bingar.
Tapi … bagi saya “tidak suka” berbeda dengan “tidak bisa”. Saya mungkin tidak terlalu suka situasi yang melibatkan hingar-bingar dan keramaian, namun bukan berarti saya tidak bisa berada di situasi itu. Jika situasi memerlukan dan mengharuskan saya berada di situasi itu, saya bisa menyikapi situasi itu sebagaimana harusnya.
Ada topeng yang saya kenakan di situasi itu, yang menjadikan saya menampilkan sosok diri yang berbeda, karena memang topeng itu diperlukan di situasi itu. Masa iya seorang pembicara malah diam saja, kan aneh he … he …orang dibayarnya ya untuk berbicara kok. Apalagi kalau saya sedang mengajar tema komunikasi, kan tidak mungkin sayanya malah tidak komunikatif dan tidak menampilkan apa yang saya ajarkan. Maka itulah topeng itu saya kenakan karena ada dampak sosial yang perlu saya penuhi.
Orang yang melihat saya di situasi itu mungkin akan menyangka saya pribadi yang ramai, aktif berkomunikasi, dan bahkan mungkin bawel. Baru kalau mereka berjumpa saya di suasana yang lebih privat dan berkepanjangan mereka baru akan tahu sisi sebenarnya saya yang lebih suka ketenangan dan keheningan.
Tapi lagi-lagi, apakah topeng itu buruk? Tidak. Bagi saya topeng itu menjadi satu keahlian sosial yang sangat berguna, yang menghidupi kehidupan saya. Topeng itu bagi saya menjadi sebuah “mode” yang siap saya operasikan ketika saya butuhkan agar segala keteraturan yang diperlukan di lingkungan saya terjaga.
Dengan kata lain, topeng itu saya kenakan dengan kekuatan dan kesadaran. Saya tahu diri saya yang sebenarnya, saya tahu apa yang saya sukai, namun saya tahu topeng apa yang diperlukan oleh lingkungan agar keteraturan di lingkungan itu terjaga.
Maka demikianlah, mari pahami empat langkah yang menutup bahasan kita di podcast ini, agar topeng ini bisa menjadi aset yang berguna untuk hidup kita.
Pertama, mari mengenali sosok diri kita di balik topeng yang kita kenakan. Kenali apa yang menurut kita baik, benar dan kita sukai. Kalau perlu lakukan tes kepribadian atau konseling khusus untuk mengenali diri dengan lebih baik.
Ketahui apa kesukaan dan ketidaksukaan kita, ketahui kelemahan dan kekuatan kita. Hal itu akan menjadi petunjuk tentang diri kita yang sebenarnya.
Kedua, sadari apa saja topeng yang kita kenakan selama ini. Apa saja sisi diri kita yang selama ini kita tampilkan di dunia luar, yang padahal kita tahu itu bukan diri kita, dan kita pun sejujurnya tidak suka menampilkan sisi itu?
Ketiga, kenali alasan kenapa kita mengenakan topeng itu. Adakah topeng itu kita kenakan karena kelemahan? Karena ia bersumber dari luka batin yang tidak terselesaikan yang menjadikan kita baru merasa berharga dan berarti ketika topeng itu kita kenakan. Jika ini yang terjadi maka pastikan kita menyelesaikan dulu luka batin itu agar topeng itu tidak menjadi kepribadian semu yang padahal sebuah pelarian.
Keempat, sadari bahwa topeng bukanlah diri kita. Ia menjadi sebuah jembatan antara diri kita dengan dunia sosial, untuk menghormati lingkungan dan menjaga keteraturan atas berbagai hal di luar diri kita. Kenakan topeng dengan kekuatan dan kesadaran, jadikan ia sebuah keahlian sosial dan adaptasi yang bisa kita gunakan ketika diperlukan. Kita boleh saja tidak suka sebuah situasi, bukan berarti kita tidak bisa menyikapi situasi itu. Disinilah topeng menjadi aset untuk menampilkan diri yang bisa menyikapi situasi itu dengan baik.
Dengan ini kita tidak membohongi diri kita, karena kita tetap tahu diri kita yang sebenarnya tapi kita pun tahu bahwa kita sedang menjaga keteraturan sosial yang harus dijaga di luar diri kita. Kita tahu itu hanya sementara. Selebihnya kita bisa kembali menjadi diri kita yang sebenarnya di balik topeng sebagaimana kita menghendakinya.
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.